Riset CHED ITB-AD Singgung Regulasi Pelarangan Jual Rokok Batangan

Ilustrasi rokok (picture-alliance/dpa/APA/H. Fohringer).

Selasa, 14 Maret 2023 – 23:34 WIB

VIVA Nasional – Dalam kurun waktu 30 tahun terkahir, prevalensi perokok di Indonesia dipandang masih cenderung stagnan. Padahal banyak negara yang telah turun prevalensi perokoknya. 

Pajak tembakau atau biasa disebut CHT (Cukai Hasil Tembakau), sebagai variabel fiskal yang diharapkan dapat mengendalikan harga transaksi pasar dan menurunkan konsumsi rokok masyarakat pun pada kenyataannya tidak berdaya. 

Demikian hasil riset Center of Human and Economic Development (CHED), Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan, Jakarta (ITB-AD). 

Tim Peneliti CHED ITB-AD, Diyah Hesti Kusumawardani, menuturkan pemerintah Indonesia dari tahun 2012 hingga 2024 sebenarnya sudah menaikan pajak cukai tembakau dan harga jual eceran (HJE) tembakau, kecuali pada tahun pemilu yaitu tahun 2014 dan 2019. 

Namun jumlah perokok di Indonesia justru meningkat dari 1990-2019 menjadi 25-50 %. 

Selain itu, kata Diyah, kenaikan pajak yang diharapkan bisa mengurangi perdagangan gelap, tidak berarti menghilangkan perdagangan gelap itu sendiri. 

Sebab, salah satu kerugian dari kenaikan pajak dan harga tembakau adalah munculnya rokok illegal yang berakibat pada peralihan ke produk rokok illegal dan subtitusi yang lebih murah (HTP yang lebih rendah).

Halaman Selanjutnya

Meskipun pemerintah sudah memutuskan untuk menaikkan cukai rokok dengan kenaikan rata-rata sebesar 10 % berlaku tahun 2023 dan 2024. Namun, kekosongan regulasi ihwal pelarangan penjualan rokok batangan masih sangat diperlukan. 

img_title

Sumber: www.viva.co.id